Hari ini
Pasaran Pon, sehari menjelang 1 Syawal 1434 H. Pagi masih berkabut dan dingin. Namun,
di Pasar Nglipar, sinar matahari perlahan menyelusup di antara sela-sela
pepohonan jati, menciptakan bayang-bayang indah pada lorong-lorong pasar. Sehingga,
sinar hangat matahari mencerahkan wajah-wajah ceria pengunjung yang hendak berbelanja.
Diah, 73
tahun, sudah sejak subuh tadi menyiapkan dagangannya, dawet ganyong. Nenek yang
telah punya 5 anak dan bercucu 8, ini duduk di sudut los pasar dekat pintu
masuk. Tempat yang sangat strategis untuk berjualan. Dawetnya dijual seharga Rp
2000,- per bungkus. Ia sudah berjualan sejak anak sulungnya berusia 1,5 tahun.
Kini, sulungnya sudah berusia 55 tahun. Namun beberapa tahun terakhir, Mbah
Diah, lebih sering berjualan di Pasar Wotgalih pada saat Kliwon, agar lebih
dekat dengan rumahnya yang berada di daerah pegunungan Sriten.
Mbah Diah, 73 th, tengah baju Ungu. Dawetnya telah habis sebelum jam 7 pagi.
Di sebelah Mbah Diah berjualan, dekat tangga naik pasar, Suparto 38 tahun, duduk menghadap barang dagangannya; Walang Sangit. Pertangkup walang sangit dihargai Rp 1000,-. Biasanya, Suparto menyanding pula belalang dan ulat jati. “Sekarang belum musim perburuan belalang dan ulat jati. Jadi susah mencarinya,” katanya, memberi alasan. “Belalang dan ulat jati muncul pada musim rendeng, musim penghujan.”
Walang Sangit, setangkup dihargai seribu rupiah saja.
Penjual sarang semut ramai diminati pembeli.
Pasaran hari ini terasa sangat istimewa bagi para pedagang Pasar tradisional seperti pasar Nglipar.
Karena pengunjung yang datang kebanyakan pemudik yang datang dari Jakarta.
Sinar, 49 tahun, warga Pilangredjo, berkunjung ke pasar tradisional
menemani anak, sepupu dan saudaranya yang datang dari Jakarta. Ia membeli beberapa
tangkup walang sangit. Keluarga dari suami anaknya yang ikut mudik ke Gunung
Kidul, ingin merasakan bagaimana segarnya sambal walang sangit. Ia sengaja
mengenalkan makanan khas Gunung Kidul agar anaknya tak lepas dari akar sejarah
asalnya
Sinar, 49 tahun, dibonceng anaknya pulang dari pasar.
Sinar, 49 tahun, dibonceng anaknya pulang dari pasar.
Menurut data
yang beredar di beberapa media sekitar 15.000 pemudik telah datang ke Gunung
Kidul pada lebaran tahun ini. Dan, sehari menjelang lebaran mereka memenuhi
pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah masing-masing untuk membelanjakan
uangnya. Membeli kuliner tradisional khas yang tak ada di Jakarta seperti
Walang sangit, dawet ganyong, sarang semut, belalang, ulat jati, gathot, dan
jajanan tradisional lainnya.
Pasar Nglipar hanyalah satu dari beberapa pasar tradisional
yang ada di Kabupaten Gunung Kidul. Selain hari pasaran Pon, pasar Nglipar juga
mempunyai hari pasaran lain yakni pasaran Legi, tapi tak seramai pasaran Pon. Tak
jauh dari pasar Nglipar ada pasar Wotgalih, yang hari pasarannya jatuh pada
hari pasaran Kliwon dan Pahing. Hari pasaran besarnya jatuh pada hari pasaran
Kliwon yang ramai pengunjung. Kemudian Pasar Gojo yang hari pasarannya pada
Wage dan Pahing.
Pernak-pernik buat remaja putri.
Lalu Pasar Semin, hari pasarannya sama dengan pasaran Nglipar
yakni, Pon. Pasar Karangmojo di kecamatan Karangmojo hari pasarannya juga jatuh pada Pon. Kemudian ada Pasar Ngalang yang lebih kecil, hari pasarannya pada
Wage. Lebih jauh lagi ada, Pasar Ngawen yang hari pasarannya jatuh pada Legi
dan Wage. Pasaran besarnya pada Legi.
Seribu rupiah untuk Gathot khas pasar Nglipar.
Berbeda dengan pasar moderen yang buka setiap hari. Pasar tradisional merupakan identitas budaya jawa.
Sejak jaman
mataram kuno sistem pemerintahan telah dibangun secara teratur dengan tujuan
menyejahterakan masyarakat menggunakan sistem Pancawara, yakni siklus 5 hari;
Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Sistem pranata sosial ekonomi yang menjangkau
daerah seluas-luasnya. Penggunaan pasaran Pancawara dalam sistem ekonomi pasar
di Jawa, terutama wilayah kekuasaan mataram kuno, merupakan penggiliran keramaian pasar agar
adil dan merata. Pada jaman dulu, pusat komunitas, misalnya ibukota kabupaten,
hari pasarannya telah ditentukan yakni Kliwon. Hari pasaran lain dipakai secara
bergiliran untuk meramaikan pasar-pasar yang ada di sekeliling pasar pusat
kota, misalnya pasaran Legi, Pahing, Pon, Wage.